Pembelajaran berbasis
budaya yang berlandaskan pada konstruktivisme biasanya dirancang untuk
berfokus pada materi yang bersifat makro dan umum bukan bagian kecil-kecil atau
spesifik. Dengan merancang pembelajaran yang berfokus pada topik atau materi
secara makro, maka Anda akan dapat melihat secara holistik tentang topik
tersebut, tidak secara parsial atau terkotak-kotak (fragmented).
Dengan berfokus pada
topik atau konsep yang bersifat umum dan makro, maka guru sesungguhnya tidak
akan merasa dikejar-kejar beban pemenuhan kurikulum, karena guru telah
memberikan gambaran secara umum. Untuk setiap potongan kecil, siswa dapat
belajar secara mandiri dari buku teks, atau sumber informasi lain, tetapi
berlandaskan pada pengetahuan yang utuh dan menyeluruh tentang topik tersebut.
Dalam pembelajaran berbasis budaya, kurikulum
dirancang agar:
1. Memungkinkan siswa untuk
belajar dengan tenang, dan guru untuk memandu proses pembelajaran tanpa dikejar-kejar
target pokok bahasan, namun tetap tidak menyimpang dari pengetahuan dan
keterampilan yang harus dikuasai siswa berdasarkan kurikulum
2. Dapat menggambarkan
keterkaitan antarkonsep dalam suatu bidang ilmu, dengan bidang lain dan juga
budaya komunitas siswa, dan menggambarkan posisi suatu bidang ilmu dalam
hubungannya dengan beragam bidang ilmu
3. Membantu siswa untuk dapat
menunjukkan atau mengekspresikan keterkaitan bidang ilmu yang dipelajarinya
dengan budaya komunitasnya, dan dengan bidang ilmu lainnya
Pembelajaran Berbasis Budaya merupakan salah satu cara yang
dipersepsikan dapat:
1. Menjadikan pembelajaran
bermakna dan kontekstual yang sangat terkait dengan komunitas budaya di mana
suatu bidang ilmu dipelajari dan akan diterapkan nantinya, dan dengan komunitas
budaya dari mana Anda berasal
2. Menjadikan pembelajaran
menarik dan menyenangkan. Kondisi belajar yang memungkinkan terjadinya
penciptaan makna secara kontekstual berdasarkan pada pengalaman awal Anda
sebagai seorang anggota suatu masyarakat budaya merupakan salah satu prinsip
dasar dari teori Konstruktivisme.
Teori Konstruktivisme
dalam pendidikan terutama berkembang dari hasil pemikiran Vygotsky (Social and
Emancipatory Constructivism), yang menyimpulkan bahwa siswa mengkonstruksikan
pengetahuan atau menciptakan makna sebagai hasil dari pemikiran dan
berinteraksi dalam suatu konteks sosial. Konstruktivisme merupakan teori
tentang belajar, teori tentang penciptaan makna. Konstruktivisme, juga
dikembangkan oleh Piaget (Piagetian Psychological Constructivism), yang
menyatakan bahwa setiap individu menciptakan makna dan pengertian baru,
berdasarkan interaksi antara apa yang telah dimiliki, diketahui, dan
dipercayai, dengan fenomena, ide, atau informasi baru yang dipelajari. Piaget
(O’Loughlin, 1993 dalam Richardson, 1997) menyatakan bahwa setiap siswa membawa
pengertian dan pengetahuan awal yang sudah dimilikinya ke dalam setiap proses
belajar, yang harus ditambahkan, dimodifikasi, diperbaharui, direvisi, dan
diubah oleh informasi baru yang dijumpai dalam proses belajar.
Dalam teorinya, Vygotsky
menyatakan bahwa proses belajar tidak dapat dipisahkan dari aksi (aktivitas)
dan interaksi, karena persepsi dan aktivitas berjalan seiring secara dialogis.
Belajar merupakan proses penciptaan makna sebagai hasil dari pemikiran individu
dan melalui interaksi dalam suatu konteks sosial. Dalam hal ini, tidak ada
perwujudan dari suatu kenyataan yang dapat dianggap lebih baik atau benar.
Vygotsky percaya bahwa beragam perwujudan dari kenyataan digunakan untuk beragam
tujuan dalam konteks yang berbeda-beda. Pengetahuan tidak terpisahkan dari
aktivitas di mana pengetahuan itu dikonstruksikan, dan di mana makna
diciptakan, serta dari komunitas budaya di mana pengetahuan didiseminasikan dan
diterapkan. Melalui aktivitas, interaksi sosial, tersebut penciptaan makna
terjadi.
Didukung oleh kematangan
dan perkembangan otak siswa (brain growth and maturation), pembelajaran menjadi
suatu interaksi sosial sebagai proses penciptaan makna. Dalam interaksi sosial,
terjadi proses pembimbingan dan negosiasi makna (scaffolding) oleh siswa lain,
guru, atau tokoh (knowlegable or more experienced others) dalam suatu wilayah
pengembangan siswa (zone of proximal development). Hasil dari interaksi sosial
tersebut adalah siswa menjadi lebih mandiri, dan terjadinya transformasi
pengetahuan siswa di mana pengetahuan yang dipersepsikan sebagai sesuatu yang
dinamis, diciptakan, dikaji dan dianalisis, diinternalisasikan serta
ditransformasikan bersama oleh siswa dan guru, bukan sekedar disampaikan
(transferred or transmitted) oleh guru. Budaya, menurut Vygotsky, “… influences
the development of cognitive forms during the transformation of knowledge by
providing regulative information that falls within the zone of proximal
development”.
Penciptaan makna dapat
terjadi pada dua jenjang, yaitu pemahaman mendalam (inert understanding) dan
pemahaman terpadu (integrated understanding). Pemahaman mendalam merupakan
hasil belajar siswa berdasarkan informasi yang diterimanya melalui proses
belajar, dan disimpan di dalam ingatannya. Penemuan kembali terhadap pemahaman
yang sudah tersimpan adalah relatif minimal, mungkin ditemukan kembali untuk
kebutuhan ujian atau tes, tetapi sangat kecil kemungkinannya untuk ditemukan
kembali untuk diaplikasikan dalam situasi yang baru/lain.
Sementara itu, pemahaman
terpadu merupakan penciptaan makna yang menunjukkan kemampuan siswa untuk
menciptakan hubungan bermakna antara beragam ide dan konsep dalam bidang ilmu,
dan antara pengalaman dan konteks pribadi dengan konsep dan prinsip ilmiah
dalam bidang ilmu. Pemahaman terpadu merupakan pengetahuan yang dapat digunakan
untuk memecahkan masalah dalam berbagai konteks dan situasi. Pemahaman terpadu
membuat siswa mampu untuk bertindak secara mandiri berdasarkan prinsip-prinsip
ilmiah untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya dalam konteks
komunitas budaya, dan mendorong siswa untuk kreatif terus mencari dan menemukan
gagasan berdasarkan konsep dan prinsip ilmiah.
Kerangka pemikiran
konstruktivisme sangat menantang guru dan perancang pembelajaran untuk mampu
menciptakan, mengkreasikan lingkungan belajar yang memungkinkan guru dan siswa
berpartisipasi aktif dalam proses berpikir, mencari, menemukan, dan menciptakan
makna berdasarkan pengalaman dan pengetahuan awal yang dimiliki guru maupun
siswa dalam suatu komunitas budaya, sehingga dapat dicapai pemahaman terpadu.
Dalam partisipasi aktif tersebut diasumsikan bahwa guru dan siswa dapat
memiliki rasa saling menghormati dan menghargai, bahwa setiap individu dapat
belajar, menciptakan makna, dan berkreasi, setiap individu memiliki pengalaman
dan pengetahuan awal yang berbeda-beda berdasarkan konteks komunitas budayanya
masing-masing.
Brooks & Brooks
(1993) menyatakan bahwa pembelajaran konstruktivis bercirikan:
·
Tidak terpaku pada proses mempelajari materi
sebagaimana tercantum dalam kurikulum, tetapi memungkinkan proses pembelajaran
berfokus pada ide atau gagasan yang bersifat umum/makro (big concept/
idea/picture) berdasarkan konteks kehidupan siswa
·
Proses belajar merupakan milik siswa, sehingga
siswa sangat diberi keleluasaan untuk menuruti minat dan rasa ingin tahunya,
untuk membuat keterkaitan antarkonsep/ide, untuk mereformulasikan idea dan
gagasan, serta untuk mencapai suatu kesimpulan yang unik
·
Mempercayai adanya beragam perspektif yang
berbeda-beda, dan kebenaran merupakan suatu hasil interpretasi makna (meaning
making)
Brooks & Brooks
percaya bahwa dengan guru mengintegrasikan ketiga hal tersebut dalam
pembelajaran berbasis budaya, maka guru mampu menciptakan pembelajaran berbasis
budaya yang konstruktivis, yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menciptakan makna dan mencapai pemahaman terpadu atas informasi keilmuan yang
diperolehnya, serta penerapan informasi keilmuan tersebut untuk konteks
permasalahan dalam komunitas budayanya.
PERAN GURU
Pembelajaran berbasis budaya
yang berlandaskan pada konstruktivisme berfokus pada penciptaan suasana belajar
yang dinamis, yang mengakui keberadaan siswa dengan segala latar belakang,
pengalaman, dan pengetahuan awalnya, yang memberi kesempatan kepada siswa untuk
bebas bertanya, berbuat salah, bereksplorasi, dan membuat kesimpulan tentang
beragam hal dalam kehidupan.
Dalam hal ini, peran guru
menjadi berubah, bukan sebagai satu-satunya pemberi informasi yang mendominasi
kegiatan pembelajaran, tetapi menjadi perancang dan pemandu proses pembelajaran
sebagai proses penciptaan makna oleh siswa, oleh siswa dan juga guru secara
bersama. Guru juga diharapkan, bukan hanya berbicara kepada siswa, tetapi juga
mendengarkan dan menghargai pendapat siswa.
Satu hal yang harus
dihindari guru dalam pembelajaran berbasis budaya adalah menyatakan “salah”
terhadap pendapat siswa. Perlu diingat, pembelajaran berbasis budaya percaya
bahwa setiap pendapat adalah unik, dan penciptaan makna terjadi secara
individual, sehingga tidak ada yang salah atau benar dalam hal ini. Pernyataan
“salah” akan menyakitkan hati siswa, dan siswa merasa pendapatnya tidak
dihargai, sehingga siswa cenderung pasif dan tidak mau mengambil risiko. Jika
pendapat siswa berbeda, yang perlu dilakukan guru adalah bernegosiasi melalui
interaksi dengan Siswa, sampai Siswa mencapai kesimpulan apakah pendapatnya
sesuai dengan kaidah keilmuan yang dipelajarinya atau tidak.
Dalam pembelajaran
berbasis budaya, guru berfokus untuk:
·
Dapat menjadi pemandu siswa, negosiator makna
yang handal, dan pembimbing siswa dalam eksplorasi, analisis, dan pengambilan
kesimpulan
·
Menahan diri agar tidak menjadi otoriter, atau
menjadi satu-satunya sumber informasi bagi siswa
·
Dapat merancang proses pembelajaran yang aktif,
kreatif, dan menarik, sehingga guru tidak hanya berceramah dan siswa hanya
mendengarkan
·
Merancang strategi secara kreatif agar dapat
mengetahui beragam kemampuan dan keterampilan yang dicapai siswa per siswa
dalam proses belajar
PERAN SISWA
Ide dan pendapat siswa
adalah jendela dari pola pikir mereka. Dalam pembelajaran berbasis budaya,
siswa bukan pasif hanya menerima pengetahuan dan keterampilan yang disampaikan
guru, tetapi merupakan subjek yang menciptakan makna, dan bahkan kontributor
terhadap perkembangan pengetahuan dan keterampilan dalam bidang ilmu. Ide dan
pendapat siswa adalah hasil penciptaan makna yang mereka lakukan dalam proses
pembelajaran.
Dengan demikian, siswa
dalam pembelajaran berbasis budaya diakui dan dihargai sebagai individu dengan
latar belakang, pengalaman, dan pengetahuan awal yang unik, yang memiliki
kemampuan dan keinginan untuk belajar, dan untuk menjadi kreatif berdasarkan
kaidah ilmiah dalam konteks komunitas budayanya. Gallas (dalam Goldberg, 2000)
menyatakan bahwa siswa “… show the power and range of their intellectual and
creative pursuits are unbounded, when they are continuously offered
opportunities to express their stories about the world through many avenues….”
Adalah tantangan bagi guru untuk mampu merancang pembelajaran yang memungkinkan
siswa menampilkan semua kreativitas dan kemampuannya secara optimal.
Pembelajaran berbasis
budaya menempatkan siswa pada posisi strategis dalam proses pembelajaran, dan
guru sebagai perancang dan pelaksana pembelajaran yang handal dan kreatif.
Dalam pembelajaran berbasis budaya, “… by engaging in cultural activities,
teachers and students open the door to creativity, curiosity, risk taking,
discovery, and their dreams….” (Goldberg, 2002). Pembelajaran berbasis budaya
yang berlandaskan pada konstruktivisme diharapkan
dapat memulai proses perubahan dalam budaya pembelajaran, untuk making a
difference terhadap proses pembelajaran pada umumnya, dan hasil belajar pada
khususnya.